Sebuah aksara hasil tulisan Franz Kafka
Ketika Bacaan Jadi Barang Mewah, Lalu Siapa yang Peduli?
Jumat, 21 Februari 2025 21:23 WIB
Ketika buku jadi barang mewah, akses literasi terhimpit. Peran pemerintah krusial dalam mengatasi krisis ini.
Indonesia, negeri yang kaya akan budaya dan sejarah, justru menghadapi ironi besar dalam hal literasi. Data Unesco menyebutkan minat membaca masyarakat Indonesia hanya 0,001%, yang berarti dari 1.000 orang, hanya satu yang benar-benar gemar membaca. Fakta ini semakin diperparah dengan hasil riset World's Most Literate Nations Ranked oleh Central Connecticut State University pada 2016, yang menempatkan Indonesia di peringkat 60 dari 61 negara dalam hal minat membaca.
Angka-angka tersebut bukan sekadar statistik kering, tetapi cerminan dari kondisi literasi yang tertinggal jauh diatas arus informasi yang semakin cepat. Pertanyaannya, mengapa membaca masih dianggap sebagai sesuatu yang sulit dijangkau di Indonesia? Apakah hanya soal minat, atau ada faktor lain yang memperumit keadaan?
Akses Bacaan yang Mahal dan Terbatas
Salah satu alasan mengapa tingkat literasi di Indonesia begitu rendah adalah sulitnya akses bahan bacaan berkualitas. Harga buku yang mahal membuat masyarakat enggan atau bahkan tidak mampu membeli buku. Di sisi lain, perpustakaan seharusnya menjadi solusi justru malah menghadapi bebrbagai keterbatasan, dari koleksi buku yang usang hingga jam operasional yang sempit karena keterbatasan anggaran.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menunjukan hanya 17,21% anak usia dini yang pernah dibacakan buku cerita oleh orang tua mereka, dan hanya 11,12% yang memiliki kebiasaan membaca bersama orang tua. Hal ini menjadi alarm keras bahwa literasi tidak hanya soal ketersediaan buku, tetapi juga budaya membaca yang belum terbentuk sejak dini.
Peran Pemerintah: Cukupkah Sekadar Kampanye?
Pemerintah memang telah menggencarkan beberapa program literasi, tetapi apakah cukup? Program seperti Gerakan Literasi Nasional memang terdengar baik, tetapi implementasi di lapangan seringkali minim dampak. Buku bacaan yang dikirim ke sekolah-sekolah di daerah terpencil sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan siswa, atau bahkan berakhir menjadi pajangan tanpa strategi pemanfaatan yang jelas.
Di sisi lain, penyempitan jam operasional perpustakaan semakin memperburuk keadaan. Ketika perpustakaan umum dan sekolah mulai kehilangan fungsinya akibat kurangnya anggaran dan sumber daya manusia, di mana lagi masyarakat dapat memperoleh akses terhadap bacaan berkuaitas? Pemerintah harus lebih dari sekadar mengkampanyekan pentingnya membaca, mereka harus memastikan bahwa akses terhadap bacaan benar-benar ada dan dapat dijangkau oleh semua lapisan masyarakat.
Faktor Penyebab Rendahnya Minat Baca
Selain akses yang sulit, rendahnya minat baca juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain. Pertama, dominasi media sosial yang mengalihkan perhatian masyarakat dari aktivitas membaca. Algoritma media sosial dirancang untuk membuat penggunanya terpaku pada konten singkat, yang pada akhirnya membuat orang semakin malas membaca teks panjang dan mendalam.
Kedua, kualitas pendidikan yang belum merata. Pendidikan yang baik seharusnya menanamkan kebiasaan membaca sejak dini, tetapi di banyak daerah, tenaga pendidik masih kesulitan untuk membangun budaya membaca karena kurangnya fasilitas serta metode pengajaran yang inovatif.
Ketiga, keterbatasan fasilitas perpustakaan dan bahan bacaan. Banyak perpustakaan di daerah masih kekurangan koleksi buku terbaru, dan akses ke buku digital belum merata akibat keterbatasan jaringan internet. Akibatnya, membaca tetap menjadi ativitas eksklusif bagi mereka yang memiliki privilese ekonomi dan teknologi.
Solusi: Literasi Sebagai Prioritas Nasional
Agar literasi tidak terus menjadi masalah laten, diperlukan solusi yang komprehensif. Pertama, menanamkan budaya membaca sejak dini dengan melibatkan keluarga sebagai garda terdepan. Program literasi tidak hanya harus menyasar sekolah, tetapi juga keluarga agar orang tua lebih aktif membacakan buku kepada anak-anak mereka.
Kedua, memanfaatkan teknologi secara maksimal. Pemerintah bisa bekerja sama dengan platform digital untuk menyediakan e-book atau berbiaya rendah, terutama untuk masyarakat di daerah terpencil. Selain itu, internet gratis di perpustakaan atau sekolah dapat menjadi solusi untuk meningkatkan akses literasi digital.
Ketiga, meningkatkan jumlah dan kualitas perpustakaan. Ini bukan hanya soal membangun gedung perpustakaan baru, tetapi juga memastikan bahwa perpustakaan yang ada dikelola dengan baik, memiliki koleksi yang relevan, serta jam operasional yang flesibel agar dapat diakses oleh lebih banyak orang.
Keempat, kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat dalam menciptakan lingkungan yang mendukung literasi. Gerakan donasi buku, pembangunan rumah baca, hingga perlibatan komunitas literasi lokal dapat menjadi langkah nyata untuk memperbaiki kondisi literasi di Indonesia.
Literasi dan Masa Depan Indonesia
Rendahnya tingkat literasi bukan hanya persoalan individu, tetapi juga masalah nasional yang berdampak pada kualitas sumber daya manusia. Orang dengan literasi rendah cenderung memiliki produktivitas rendah, kesulitan dalam memahami informasi, serta kurang daya saing di pasar tenaga kerja yang semakin kompetitif.
Pemerintah tidak bisa lagi berpangku tangan dan mengandalkan kampanye seremonial. Kebijakan literasi harus menjadi bagian dari strategi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Jika tidak, Indonesia akan terus berada dalam pusaran ketertinggalan, dimana membaca tetap menjadi barang mewah yang hanya bisa diakses segelintir orang.
Saatnya bertanya: jika literasi adalah kunci kemajuan bangsa, lalu siapa yang benar-benar peduli membukakan pintunya?

Penulis Indonesiana
1 Pengikut

Sosok Ade Paloh dalam Wajah Baru Bilal Indrajaya
Rabu, 4 Juni 2025 08:21 WIB
Ketika Bacaan Jadi Barang Mewah, Lalu Siapa yang Peduli?
Jumat, 21 Februari 2025 21:23 WIBArtikel Terpopuler